Kaki mungil yang tanpa alas itu lincah berlomba dengan kaki - kaki
bersepatu kilap atau sandal – sandal bermerk yang lagi ngetrend ketika berjalan
di atas trotoar. Kaki mungil tanpa alas yang berteman karib dengan debu kotaku
ini agak berjingkat jalannya. Mungkin kulit telapak kakinya yang tipis
merasakan panas yang dihantarkan sinar matahari melalui paving trotoar yang
sudah tak rata lagi permukaannya karena
tergerus musim, atau memang kualitas paving yang tidak begitu bagus. Entahlah, aku
memang tak terlalu memperdulikan hal itu. Bukan urusanku. Kalau aku tidak lupa
betul, perasaan baru delapan atau sembilan bulan lalu paving ini disusun rapi.
Hmm, mungkin memang bahan baku paving – paving ini yang kurang berkualitas.
Atau mungkin juga dana pembangunan kota yang kena sunat berkali – kali, sehingga
untuk mempercantik kota saja pihak pemkot hanya dapat membeli paving kualitas
murahan. Ya, bisa saja kan, itu terjadi ? karena berita – berita tai kucing itu
sudah sering dipublikasikan pada masyarakat kotaku. Dan walaupun sudah jadi
santapan sehari hari, masyarakat kota ini juga bersikap tak acuh dengan berita
itu. Hanya beberapa manusia saja yang peduli dengan kabar – kabar seperti itu.
Atau pura – pura peduli…?? Hggh! Lagi – lagi pikiran tebak menebak selalu saja
ikut andil. Pfiu!!
Ouw, ternyata kaki mungil tak beralas dan berkarib dengan debu kotaku itu
berhenti dan masuk di sebuah warung PKL depan
kantor telekomunikasi milik pemerintah yang kebetulan ramai pembeli. Ya jelas
saja ramai pembeli, wong siang ini
adalah jam makan siang bagi para pegawai kantor telekomunikasi itu dan beberapa
kantor – kantor milik swasta di
sekitarnya. Beberapa menit kemudian kaki mungil tak beralas itu keluar dari
warung dan ….kok ada sepasang kaki mungil lagi di sampingnya ? Kali ini beralas
sandal jepit berwarna pink tapi puyeh.
Mungkin karena saking lamanya usia sandal jepit itu, atau debu – debu kotaku
yang memang benar – benar karib dengannya ? Hggh! Datang lagi pikiran yang suka
meraba – raba kata mungkin ini.
Laju kaki mungil tak beralas itu kini tak secepat tadi. Lebih lambat.
Bahkan terkesan santai melenggang. Padahal matahari tak pernah ramah tersenyum
kala kemarau di kotaku. Bawaannya marah melulu. Garang memancarkan sinar
angkuhnya yang menguasai masa. Sahabatnya, sang angin, malas meniupkan
semilirnya. Ya, paling tidak supaya daun –daun pohon angsana yang berusaha kuat
untuk memayungi kotaku dapat menciptakan irama bisiknya. Itu sih mauku. Kuikuti
terus langkah santai kaki – kaki mungil itu. Aih, aih, ternyata berhenti di
simpang empat tepat di bawah tiang lampu merah. Mau apa ? Apa mau menyeberang ?
Setahuku rumah pemilik kaki mungil tak beralas itu di perkampungan kumuh dekat
pasar lama yang dipisahkan oleh Kalimas dan bersebelahan dengan terminal lama.
Hmm, ngikut aja ah…
Tak lama kemudian nyala lampu berubah menjadi merah. Jadi banyak kendaraan
yang berhenti dengan tertib. Eits, ada pula yang ngerem mendadak sampai bunyi
ciiiiiittt… Persis seperti bunyi balon yang ditiup lalu dijepit dan ditarik
lehernya dengan kedua ibu jari dan telunjuk, sehingga udara dalam balon tidak
dapat leluasa keluar. Jadi ingat waktu
ayah memperkenalkan aku dengan permainan ini beberapa tahun lalu. Ku lihat
kbercat kaki mungil tak beralas itu turun ke aspal yang mengkilap karena
memantulkan sinar matahari. Wuih, terbayang olehku bagaimana rasanya ketika dia
harus berlama – lama menunggu pengendara mobil bercat merah kinclong membuka kacanya dan memberikan
logam lima ratusan setelah dia selesai menyanyi. Ouw, ternyata ngamen toh…
Setengah jam kemudian kaki mungil tak beralas itu meninggalkan simpang
empat. Berjalan santai dengan si kaki mungil beralas sandal jepit pink puyeh. Melewati trotoar paving yang tak
rata permukaannya dan sudah tidak rapi lagi susunannya. Memasuki gang – gang
kecil kotaku yang berkali – kali dapat penghargaan adipura. Terus menyebrang
jalan yang agak lebar dan sedikit padat lalu lintasnya, karena memang dekat dua
universitas dan mall yang menempati lokasi strategis. Dan akhirnya tembus ke mulut
gang kelinci yang padat pemukiman dan kumuh. Lalu berhenti di depan sebuah
rumah gedhek di belakang pasar lama
setelah beberapa meter menyusuri jalan gang yang sempit. Hm, kontras sekali
dengan pemandangan di pusat kota yang bersih dan nyaman.
Dengan sabar dia buka gembok pintu rumah yang tripleknya sebagian sudah
mengelupas. Gembok karatan peninggalan pemilik rumah gedhek itu memang agak payah. Susah sekali tangan mungil itu
memutar – mutar anak kuncinya. Butuh kesabaran sepertinya. Dan ketika sudah
berhasil, terdengar helaan nafas panjangnya. Lega. Mungkin itu yang
dirasakannya.
“Mas, aku tumbas es yo ?” si kaki mungil beralas sandal
jepit pink puyeh minta persetujuan
pada pemilik kaki mungil tak beralas. Ouw, ternyata kakaknya. Jadi mereka kakak
beradik rupanya. Aku mengambil kesimpulan sendiri.
“Iyo, ki duite. Jo mampir nang
ngendi – endi, bar ngene
sekolah.” Ucap si kaki mungil tak beralas sambil memberikan dua logam lima
ratusan yang diambil dari saku celana kolor dekilnya kepada adik yang
sepertinya cuma satu itu saja.
Dengan gesit, si kaki mungil beralas sandal jepit pink puyeh itu menerima pemberian kakaknya.
Bagai anak panah yang dilepas dari busurnya, ia pun melesat begitu cepat
meninggalkan rumah gedhek yang
berlantai plesteran campuran semen pasir
yang sudah banyak lubang – lubangnya.
Si kaki mungil tak beralas itu duduk di dipan bambu yang dialasi perlak
usang dan beberapa lapis kain sisa spanduk atau iklan produk, tak begitu jelas
ku lihat tulisannya. Saking lamanya usia kain – kain itu mungkin.
Di atas dipan itu dia selonjorkan kedua kakinya yang putih karena debu
kotaku. Lalu dikeluarkannya bekas bungkus permen tempat dia menampung hasil
jerih payahnya tadi. Suara ramai gesekan koin – koin putih kuning begitu jelas
ditangkap daun telingaku.
Setelah menghitung beberapa koin putih dan kuning, serta tiga lembar
ribuan, si kaki mungil tak beralas itu masuk ke dalam kamar yang berpintu kain
selambu bekas spanduk yang entah berapa lama tak pernah tersentuh air dan
sabun.
Tak lama kemudian dia keluar dari kamar yang dibatasi gedhek juga dengan membawa ember kecil
dan berkalung handuk kecil putih yang nyaris berwarna cokelat. Hmm, atribut
untuk ke kamar mandi. Sebelum keluar rumah, dia berjongkok di bawah dipan bamboo
dan mengais – ngais berusaha mengambil sesuatu. Ups, dapat ! Ouw, ternyata si
kaki mungil tak beralas itu punya sandal juga. Lalu dia menutup daun pintu
bercat hijau yang banyak ditempeli stiker tokoh kartun dari jaman donal bebek
hingga angry bird. Lalu mengunci
dengan gembok, sama seperti yang dilakukannya tadi pagi.
Seperti baru sadar akan keberadaan adiknya yang sedari tadi belum muncul
membawa es, matanya dilemparkan ke sepanjang jalan sempit di depan rumahnya.
Alisnya berkerut. Kelihatannya dia sedang berpikir. Atau lebih tepatnya dikatakan
bingung. Kecemasan terpancar jelas dari raut muka bocah pemilik kaki mungil tak
beralas itu. Kemudian dia buka lagi gembok rumah gedhek
itu dengan tergesa – gesa. Keringat dingin satu persatu membulir dan membasahi
kening serta telapak tangannya. Berulang kali dia mengelapkan telapak tangannya
pada kaos bau yang dipakainya itu.Dan ketika dia berhasil, secepat kilat
didorongnya daun pintu yang mengeluarkan suara berderit menjerit bagai hati
yang tersayat sembilu karena cemburu (hehehe..kata teman – teman gitu..).
Tanpa menunggu lama, dia segera meletakkan segala tetek bengek yang akan
digunakan untuk membersihkan badan yang hanya dilakukan sehari sekali itu. Iya,
karena dia harus bayar untuk mandi di ponten yang disediakan di kawasan gang
kelinci tampat dia tinggal.
Lalu dia segera berlari menuju ujung gang. Tanpa menutup pintu. Tanpa
alas kaki. Dia menoleh ke sisi kanan mulut gang. Beberapa meter dari sana ada
kios mbak Yun yang jual es tebu di pinggiran jalan raya yang tidak begitu lebar.
Banyak yang beli dan minum es tebu di situ. Kebanyakan para mahasiswa yang
mengendarai motor ataupun sepeda pancal. Matanya meneliti satu persatu orang –
orang yang ada di kios es tebu mbak Yun. Tapi dia tidak menemukan sosok mungil adik
tercintanya.
“ Mbak Yun, tau Rini ?” tanyanya memberanikan diri dengan menahan gemuruh
di dadanya. Dia berharap mbak Yun menunjukkan keberadaan adik semata wayangnya
itu.
“ Mau tuku es nang kene,Le. Trus
embuh. Aku gak ndelok nang ndi sakmarine..” jawab mbak Yun memberikan
keterangan.
Bagai disambar petir jantungnya mendengar jawaban dari mbak Yun. Tanpa
bisa ditahan, air yang sudah menunggu untuk meluncur dari dua bola mata
beningnya langsung membasahi pipi coklat miliknya. Si kaki mungil tak beralas
itu lari menyusuri sepanjang jalan raya yang tak begitu lebar. Hatinya hancur
ditinggal adiknya yang hilang entah kemana.
Debu kotaku masih berkarib dengannya ketika dua tahun yang lalu kujumpai
dia secara tak sengaja di terminal lama. Sendiri. Tanpa alas kaki. Membopong
tumpukan harian pagi kotaku.
“Ndak tau mbak.” Jawabnya pendek
sambil membiarkan airmatanya bergulir. Matanya menatap langit kotaku yang
disobek terik. Berharap apa yang akan turun dari langit yang jelas terobek itu…
aku tak tahu.