Kau ada


Aku ada di sini

Hadirlah...

Berganti masa menunggumu

Harap genggam jemarimu

Menyayat langit luas itu

Mencarimu

Dimana

Kemana

Kata teman kau akan datang

Yang satunya bilang, kau memang sudah datang

Yang lainnya bilang, kau ada sedari dulu

Akhirnya ku katakan...

Kau ada sejak aku ada dalam ruang gelap

Yang tidak lembab

Bahkan hangat

Dalam rahim bunda

Kau sudah menemaniku



 


Baca Selengkapnya - Kau ada
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 14.26

Selamat Jalan


Pada rembulan berharap

Tuk kuakkan jendela hati 

Di batas malam yang kian menua

Serpih bergulir dalam kenang usang

Dan biarkan saja sepoi menyapu duka

Setidaknya ada sejuk yang singgah

Selamat jalan....

Biarkan desah dedaunan mengantar resah

Kala kan bersua tanpa gelisah


Baca Selengkapnya - Selamat Jalan
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 14.15

mungkin


menjemput sinarmu di ujung masa
sekian lama tak pernah sua
namun hanya bias yang ada 
dan jadikan bayangan maya
hingga ku teguk saja secawan kecewa

kala mungkin tak mau berteman denganku
membiarkanku terpuruk pada batas penantian

dan hanya dapat menerima takdir
tatkala sadar langit tak dapat hadir 
tuk gantungkan harap atau
hanya sekedar melukis impian

Baca Selengkapnya - mungkin
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 14.02

Esok




Matahari rupanya tahu diri 
berganti tugas diemban rembulan 

Mengapa malam kian cemberut merengut 
beri senyum rindu bersambut 

Bayu pergi tak perduli 
Bawa bukti cinta diri 

Malam ini adalah fana 
tak perlu nantikan rintih mega   
Baca Selengkapnya - Esok
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 12.35

KAKI



Kaki mungil yang tanpa alas itu lincah berlomba dengan kaki - kaki bersepatu kilap atau sandal – sandal bermerk yang lagi ngetrend ketika berjalan di atas trotoar. Kaki mungil tanpa alas yang berteman karib dengan debu kotaku ini agak berjingkat jalannya. Mungkin kulit telapak kakinya yang tipis merasakan panas yang dihantarkan sinar matahari melalui paving trotoar yang sudah  tak rata lagi permukaannya karena tergerus musim, atau memang kualitas paving yang tidak begitu bagus. Entahlah, aku memang tak terlalu memperdulikan hal itu. Bukan urusanku. Kalau aku tidak lupa betul, perasaan baru delapan atau sembilan bulan lalu paving ini disusun rapi. Hmm, mungkin memang bahan baku paving – paving ini yang kurang berkualitas. Atau mungkin juga dana pembangunan kota yang kena sunat berkali – kali, sehingga untuk mempercantik kota saja pihak pemkot hanya dapat membeli paving kualitas murahan. Ya, bisa saja kan, itu terjadi ? karena berita – berita tai kucing itu sudah sering dipublikasikan pada masyarakat kotaku. Dan walaupun sudah jadi santapan sehari hari, masyarakat kota ini juga bersikap tak acuh dengan berita itu. Hanya beberapa manusia saja yang peduli dengan kabar – kabar seperti itu. Atau pura – pura peduli…?? Hggh! Lagi – lagi pikiran tebak menebak selalu saja ikut andil. Pfiu!!
Ouw, ternyata kaki mungil tak beralas dan berkarib dengan debu kotaku itu berhenti dan masuk  di sebuah warung PKL depan kantor telekomunikasi milik pemerintah yang kebetulan ramai pembeli. Ya jelas saja ramai pembeli, wong siang ini adalah jam makan siang bagi para pegawai kantor telekomunikasi itu dan beberapa kantor – kantor  milik swasta di sekitarnya. Beberapa menit kemudian kaki mungil tak beralas itu keluar dari warung dan ….kok ada sepasang kaki mungil lagi di sampingnya ? Kali ini beralas sandal jepit berwarna pink tapi puyeh. Mungkin karena saking lamanya usia sandal jepit itu, atau debu – debu kotaku yang memang benar – benar karib dengannya ? Hggh! Datang lagi pikiran yang suka meraba – raba kata mungkin ini.
Laju kaki mungil tak beralas itu kini tak secepat tadi. Lebih lambat. Bahkan terkesan santai melenggang. Padahal matahari tak pernah ramah tersenyum kala kemarau di kotaku. Bawaannya marah melulu. Garang memancarkan sinar angkuhnya yang menguasai masa. Sahabatnya, sang angin, malas meniupkan semilirnya. Ya, paling tidak supaya daun –daun pohon angsana yang berusaha kuat untuk memayungi kotaku dapat menciptakan irama bisiknya. Itu sih mauku. Kuikuti terus langkah santai kaki – kaki mungil itu. Aih, aih, ternyata berhenti di simpang empat tepat di bawah tiang lampu merah. Mau apa ? Apa mau menyeberang ? Setahuku rumah pemilik kaki mungil tak beralas itu di perkampungan kumuh dekat pasar lama yang dipisahkan oleh Kalimas dan bersebelahan dengan terminal lama. Hmm, ngikut aja ah…
Tak lama kemudian nyala lampu berubah menjadi merah. Jadi banyak kendaraan yang berhenti dengan tertib. Eits, ada pula yang ngerem mendadak sampai bunyi ciiiiiittt… Persis seperti bunyi balon yang ditiup lalu dijepit dan ditarik lehernya dengan kedua ibu jari dan telunjuk, sehingga udara dalam balon tidak dapat leluasa keluar. Jadi ingat  waktu ayah memperkenalkan aku dengan permainan ini beberapa tahun lalu. Ku lihat kbercat kaki mungil tak beralas itu turun ke aspal yang mengkilap karena memantulkan sinar matahari. Wuih, terbayang olehku bagaimana rasanya ketika dia harus berlama – lama menunggu pengendara mobil bercat merah kinclong membuka kacanya dan memberikan logam lima ratusan setelah dia selesai menyanyi. Ouw, ternyata ngamen toh…
Setengah jam kemudian kaki mungil tak beralas itu meninggalkan simpang empat. Berjalan santai dengan si kaki mungil beralas sandal jepit pink puyeh. Melewati trotoar paving yang tak rata permukaannya dan sudah tidak rapi lagi susunannya. Memasuki gang – gang kecil kotaku yang berkali – kali dapat penghargaan adipura. Terus menyebrang jalan yang agak lebar dan sedikit padat lalu lintasnya, karena memang dekat dua universitas dan mall yang menempati lokasi strategis. Dan akhirnya tembus ke mulut gang kelinci yang padat pemukiman dan kumuh. Lalu berhenti di depan sebuah rumah gedhek di belakang pasar lama setelah beberapa meter menyusuri jalan gang yang sempit. Hm, kontras sekali dengan pemandangan di pusat kota yang bersih dan nyaman.
Dengan sabar dia buka gembok pintu rumah yang tripleknya sebagian sudah mengelupas. Gembok karatan peninggalan pemilik rumah gedhek itu memang agak payah. Susah sekali tangan mungil itu memutar – mutar anak kuncinya. Butuh kesabaran sepertinya. Dan ketika sudah berhasil, terdengar helaan nafas panjangnya. Lega. Mungkin itu yang dirasakannya.
“Mas, aku tumbas es yo ?” si kaki mungil beralas sandal jepit pink puyeh minta persetujuan pada pemilik kaki mungil tak beralas. Ouw, ternyata kakaknya. Jadi mereka kakak beradik rupanya. Aku mengambil kesimpulan sendiri.
Iyo, ki duite. Jo mampir nang ngendi – endi, bar ngene sekolah.” Ucap si kaki mungil tak beralas sambil memberikan dua logam lima ratusan yang diambil dari saku celana kolor dekilnya kepada adik yang sepertinya cuma satu itu saja.
Dengan gesit, si kaki mungil beralas sandal jepit pink puyeh itu menerima pemberian kakaknya. Bagai anak panah yang dilepas dari busurnya, ia pun melesat begitu cepat meninggalkan rumah gedhek yang berlantai plesteran campuran semen pasir yang sudah banyak lubang – lubangnya.
Si kaki mungil tak beralas itu duduk di dipan bambu yang dialasi perlak usang dan beberapa lapis kain sisa spanduk atau iklan produk, tak begitu jelas ku lihat tulisannya. Saking lamanya usia kain – kain itu mungkin.
Di atas dipan itu dia selonjorkan kedua kakinya yang putih karena debu kotaku. Lalu dikeluarkannya bekas bungkus permen tempat dia menampung hasil jerih payahnya tadi. Suara ramai gesekan koin – koin putih kuning begitu jelas ditangkap daun telingaku.
Setelah menghitung beberapa koin putih dan kuning, serta tiga lembar ribuan, si kaki mungil tak beralas itu masuk ke dalam kamar yang berpintu kain selambu bekas spanduk yang entah berapa lama tak pernah tersentuh air dan sabun.
Tak lama kemudian dia keluar dari kamar yang dibatasi gedhek juga dengan membawa ember kecil dan berkalung handuk kecil putih yang nyaris berwarna cokelat. Hmm, atribut untuk ke kamar mandi. Sebelum keluar rumah, dia berjongkok di bawah dipan bamboo dan mengais – ngais berusaha mengambil sesuatu. Ups, dapat ! Ouw, ternyata si kaki mungil tak beralas itu punya sandal juga. Lalu dia menutup daun pintu bercat hijau yang banyak ditempeli stiker tokoh kartun dari jaman donal bebek hingga angry bird. Lalu mengunci dengan gembok, sama seperti yang dilakukannya tadi pagi.
Seperti baru sadar akan keberadaan adiknya yang sedari tadi belum muncul membawa es, matanya dilemparkan ke sepanjang jalan sempit di depan rumahnya. Alisnya berkerut. Kelihatannya dia sedang berpikir. Atau lebih tepatnya dikatakan bingung. Kecemasan terpancar jelas dari raut muka bocah pemilik kaki mungil tak beralas itu. Kemudian dia buka lagi gembok  rumah gedhek itu dengan tergesa – gesa. Keringat dingin satu persatu membulir dan membasahi kening serta telapak tangannya. Berulang kali dia mengelapkan telapak tangannya pada kaos bau yang dipakainya itu.Dan ketika dia berhasil, secepat kilat didorongnya daun pintu yang mengeluarkan suara berderit menjerit bagai hati yang tersayat sembilu karena cemburu (hehehe..kata teman – teman gitu..).
Tanpa menunggu lama, dia segera meletakkan segala tetek bengek yang akan digunakan untuk membersihkan badan yang hanya dilakukan sehari sekali itu. Iya, karena dia harus bayar untuk mandi di ponten yang disediakan di kawasan gang kelinci tampat dia tinggal.
Lalu dia segera berlari menuju ujung gang. Tanpa menutup pintu. Tanpa alas kaki. Dia menoleh ke sisi kanan mulut gang. Beberapa meter dari sana ada kios mbak Yun yang jual es tebu di pinggiran jalan raya yang tidak begitu lebar. Banyak yang beli dan minum es tebu di situ. Kebanyakan para mahasiswa yang mengendarai motor ataupun sepeda pancal. Matanya meneliti satu persatu orang – orang yang ada di kios es tebu mbak Yun. Tapi dia tidak menemukan sosok mungil adik tercintanya.
“ Mbak Yun, tau Rini ?” tanyanya memberanikan diri dengan menahan gemuruh di dadanya. Dia berharap mbak Yun menunjukkan keberadaan adik semata wayangnya itu.
Mau tuku es nang kene,Le. Trus embuh. Aku gak ndelok nang ndi sakmarine..” jawab mbak Yun memberikan keterangan.
Bagai disambar petir jantungnya mendengar jawaban dari mbak Yun. Tanpa bisa ditahan, air yang sudah menunggu untuk meluncur dari dua bola mata beningnya langsung membasahi pipi coklat miliknya. Si kaki mungil tak beralas itu lari menyusuri sepanjang jalan raya yang tak begitu lebar. Hatinya hancur ditinggal adiknya yang hilang entah kemana.
Debu kotaku masih berkarib dengannya ketika dua tahun yang lalu kujumpai dia secara tak sengaja di terminal lama. Sendiri. Tanpa alas kaki. Membopong tumpukan harian pagi kotaku.
Ndak tau mbak.” Jawabnya pendek sambil membiarkan airmatanya bergulir. Matanya menatap langit kotaku yang disobek terik. Berharap apa yang akan turun dari langit yang jelas terobek itu… aku tak tahu.
Baca Selengkapnya - KAKI
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 02.22

Perkembangan Sastra (Puisi) di Indonesia Sebelum Kemerdekaan




Perkembangan puisi di Indonesia dimulai sekitar pertengahan abad ke-19, ketika negeri yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda ini masyarakatnya mulai mengembangkan media cetak. Tampaknya perkembangan sastra kita tidak dapat dipisahkan dari perkembangan penerbitan, terutama puisi. Dan kebanyakan para sastrawan adalah juga wartawan yang mementingkan bahasa sebagai alat komunikasi.Bahasa Melayu sejak lama sudah menjadi bahasa komunikasi lisan di Nusantara, tetapi karena kalangan pers menggunakannya sebagai alat komunikasi cetak, tampaknya mereka harus mengubah yang lisan itu menjadi tulisan, yang bunyi menjadi aksara.
Puisi dalam bahasa Melayu dicetak dan disebarluaskan sejak abad ke-19, ketika media massa cetak mulai berkembang di Hindia Belanda. Sejak tahun 1870-an sudah ada surat kabar yang memuat puisi dalam bahasa Melayu, yakni surat kabar Bianglala  yang terbit di Betawi.
Perkenalan dengan budaya Barat menyebabkan para penulis puisi kita mempertimbangkan cara penulisan baru, tetapi pengaruh yang sangat kuat dari tradisi lisan menyebabkan bentuk – bentuk seperti pantun dan syair masih juga menjadi pilihan penting.
Munculnya sejumlah besar puisi baru dalam berbagai penerbitan berkala membuktikan bahwa dalam sastra kita kala itu sedang terjadi suatu proses pembaruan yang sangat penting. Dan pada masa itu terjadi suatu arus pengaruh yang kuat dari Barat. Kelompok sastrawan dan intelektual muda yang tergabung dalam majalah Pujangga Baru . Majalah itu dengan gigih menawarkan berbagai konsep Barat untuk membongkar pemikiran bangsa kita yang dianggap sudah mulai mengalami kemacetan di masa itu. Mereka menunjukkan berbagai kelemahan yang ada dalam tradisi penulisan puisi kita seprti pantun dan syair. Mereka mencoba meyakinkan bahwa cara terbaik untuk memajukan sastra adalah dengan mencontoh berbagai cara pengucapan yang berasal dari Barat.
Tradisi lisan dimanapun merupakan asal muasal penulisan puisi. Puisi modern yang ditulis berdasarkan prinsip keberaksaraan, memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan prinsip kelisanan. Piranti puisi seperti rima, irama, pengulangan, aliterasi, asonansi dan kesejajaran menunjukkan bahwa puisi tulis dan cetak memang harus ‘dilisankan’ untuk mendapatkan keindahan dan maknanya. Pantun dan mantra merupakan bentuk tradisi lisan kita yang bisa dikatakan asli. Masuknya pengaruh Hindu telah memberi peluang bagi para penyair kuno menciptakan kakawin, sejenis puisi yang ketat aturan penulisannya, yang kemudian dalam kebudayaan Jawa berkembang menjadi tembang macapat. Kedatangan Islam juga menyebabkan penyair mengembangkan jenis baru seperti ghazal, nizam, dan nalam yang berasal dari Timur Tengah.
Puisi Indonesia modern mempergunakan jenis-jenis bahasa yang umumnya disebut Melayu Tinggi dan Melayu Rendah. Melayu Tinggi tampaknya dianggap berubah menjadi bahasa Indonesia. Dalam kesusastraan tidak pernah ada perbedaan antara bahasa rendah dan bahasa tinggi.

*Damono, Sapardi Djoko. 2009. Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Baca Selengkapnya - Perkembangan Sastra (Puisi) di Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 04.44

Padamu



Membelai syahdu angin malam yang menginjak pagi

dan aku pun senantiasa di sini....

Menggigil nantikan dirimu

Tak pernah kubayangkan

jika aku bersua denganmu

berurai tangis...

atau

melukis senyum bahagia


Padamu aku selalu mencoba ciptakan untai kata terindah

entah kau paham atau malah bungkam

namun aku tahu kau begitu pemurah


Gusti...


pada batas pagi aku bersimpuh

merobek langitmu yang sunyi namun ku rasa gaduh

mencoba sisipkan mimpi dan secuil asa

supaya hidupku tak lagi hampa
Baca Selengkapnya - Padamu
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 14.29

Persembahan




Aku adalah gembala pada sabana rinduku

yang dengan suka meniupkan seruling rasa di semesta hatimu

membawa kinasih menjadi bekal tuk menunggu

dan pada batas horizon ku berpulang riang


Damai lantunkan kidung smaradana

gantungkan asa di arak mega yang singgah menyapa


Dan ku ingini aku kembali

padamu...

semesta hati mentari


Baca Selengkapnya - Persembahan
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 01.15

Catatan Hari Ini


Aku melihatnya. Masih seperti kemarin siang, aku melihatnya duduk di atas trotoar pinggir jalan. Wajah keriput dan kulit legamnya seakan menceritakan betapa keras kehidupan yang pernah dilaluinya. Topi bundar lusuh yang sedikit terkoyak seakan tak mampu melindungi kepala rapuhnya dari sengatan matahari bulan Mei.
Dengan tongkat ala kadarnya sebagai penopang tubuhnya (mungkin juga sebagai penopang hidupnya) ditemani wadah plastik bekas sabun yang digunakan sebagai penampung uang receh yang diberikan oleh para penderma yang masih peduli meliriknya (karena para dermawan sekarang lebih suka menyalurkan sebagian rizkinya melalui suatu lembaga sosial yang sudah sangat menjamur di kota tempat tinggalku ini,dengan beragam penawaran dan fasilitas yang dijanjikan melalui buletin atau spanduk dan alat promosi lainnya) duduk bersandar pada tembok sebuah bangunan yang katanya adalah bekas sebuah kantor apa aku lupa.Hmm, ternyata bajunya sudah ganti. Walaupun masih terlihat kumal dan lusuh. Matanya menatap kosong ke jalan raya. Kadang - kadang saja dia menatap lekat pada beberapa pengguna jalan yang melintas di depannya.
Hari ini dia mendapat lemparan uang receh lima ratusan dari seorang bocah yang memakai baju seragam putih merah. Syukurlah, kau masih memiliki secuil jiwa empati nak..pujiku pada seorang bocah perempuan berambut ikal dengan bando merah di kepalanya. Matanya tak lepas memandang laki - laki tua yang baru saja dilempari uang receh lima ratusan olehnya. Apa yang kau pikirkan sayang ? tanyaku menerka jalan pemikiran bocah imut nan penderma itu. Sambil berlalu dan sesekali masih menoleh pada sosok yang baru saja dilempari uang receh lima ratusan itu, ia tersenyum. Wow..! pemandangan yang jarang sekali ku tahu. Cepat kualihkan bola mataku pada laki - laki tua itu. Ouw..ternyata dia memberikan senyum termanisnya pada bocah perempuan imut itu sambil mengangguk tanda terima kasih (mungkin).
Baca Selengkapnya - Catatan Hari Ini
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 13.31

BUNDA

 
 
Lekuk keriput pada wajah setengah bayamu
samar ku lihat gurat lelah di sana
Namun tertutup oleh ulas senyum ikhlas

Bening kaca tak lagi terpancar seperti dulu
kabut tipis tlah halangi penglihatan rapuhmu

Tak peduli..
Masih saja kau bangun dini
Persiapkan segala tetek bengek tuk pujaan hati

Kulit berkerut purut
jari lemah nan kokoh masih sudi temani
di sisa usia yang semakin menepi senja

Bunda....
Tak tahu apa yang dapat ku persembahkan
Tak cukup rasanya dengan beribu rumah megah
ataupun berjuta mobil mewah
Peluh dan air mata yang menghiasi hari - harimu
lebih indah dibanding berlian yang kusematkan
di sela jemarimu

Bunda...
Tetap sematkan doa - doamu untukku
Baca Selengkapnya - BUNDA
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 13.28

Pintaku



Aku melihatnya, Bunda...
cahaya yang sering Bunda dongengkan untukku. 
Ah, indah sekali Bunda..
ingin ku sematkan dalam jiwaku

Supaya nampak cantik gadismu ini
elok dipandang mata di bumi

Bunda lihat kan..??
memerah bagai mawar gadismu tersipu
bila dipuji oleh kawan-kawanku

Bunda...
peluk kasihmu amat ku rindu
datang..
dan tinggallah untuk aku,
gadis kecilmu


*untuk yang terkasih, AMELYA AKMAL
Baca Selengkapnya - Pintaku
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 13.20

ADIK

Apa yang ada dalam benakmu dik...??

oh, kau ingin seperti mereka ?

yang bisa makan setiap hari

nasi, lauk, sayur, ditambah buah dan susu...

Sabar ya dik,


bapak kita masih sibuk mencari rongsokan

bekas makan minum mereka yang dapat ditukar uang

Dik, bantu bapak cari tambahan

ngamen itu bukan ngemis

biar saja mereka pandang kita sinis

gak' usah digubris

Apa yang mereka tahu tentang kita, dik?

anak - anak pengamen yang bau dan ga' kenal bangku sekolah

siapa suruh mereka cuma lihat kita

kalau berani...

bayarin nih, buku - buku sekolah kita

Ga' papa dik,

walau cuma dapat sepeser

setidaknya inilah rezeki yang diberikan Tuhan kita hari ini

Usap air matamu dik,

jangan tunjukkan pada mereka

kita tidak lemah dik,

nasib saja yang mengusung kita di persimpangan ini

atau di terminal tempat kita bertemu

orang - orang borju yang ga' tau malu


*persembahan untuk Rien pada 90598
Baca Selengkapnya - ADIK
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 13.15

BIAR

 


benar - benar tlah menikam ulu hati..



luar biasa sakitnya



perih...

tak mampu meronta lagi



dan kau hanya tertawaiku

.

rinduku tak dapat lagi terselamatkan



terkubur bersama pilu jiwaku



derai pun tlah habis terkuras



kau...



bersoraklah !!


biarkan laraku jadi kerak



luar biasa sakitnya



perih...

tak mampu meronta lagi



dan kau hanya tertawaiku

.

rinduku tak dapat lagi terselamatkan



terkubur bersama pilu jiwaku



derai pun tlah habis terkuras



kau...



bersoraklah !!


biarkan laraku jadi kerak

Baca Selengkapnya - BIAR
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 22.41

ASING



PAKU KELU
TERBALUT PILU

SERUAK TANGIS MERAJA HARI
BOSAN MASA LALUI SUNYI

HARAP HADIR PADA RAMAI
YANG INGIN HATI DAMAI

PADA RUANG PENAT
SEGALANYA JADI MAMPAT

BERSAMA RASA SENDIRI
HIRUK PIKUK RASA SUNYI

PADA BATAS SUKA
SELANGKAH BENCI MENAMBAH DUKA

ASING
DI PURI TAK IMAJI
Baca Selengkapnya - ASING
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 06.18

Selamat Tinggal



biarlah tetap bisu dinding2 itu 

yang lindungi jiwa penuh rasa, penuh tanya 

miliki dia sesukamu

biarkan rapuh yang menemani kelu 

dan biarkan berserak beling duka 

cukup... 

dan terima kasih atas cinta yang kau suapkan
Baca Selengkapnya - Selamat Tinggal
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 05.56

Pada Jaya




Dan ketika mentari enggan kembali

Seluruh semesta menggigil

Tak sanggup ucap memanggil


Saat puncak menyapa bersama kabut

Rimbun alang merapat harap bersambut

Bebatuan tertegun

Pesona di panorama nan anggun
Baca Selengkapnya - Pada Jaya
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 05.31

Daftar Isi

Baca Selengkapnya - Daftar Isi
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 05.29

Rasaku

 
Kau tahu...??

Ketika awan minggir 

dan mempersilahkan cayamu menembus bumi


Sabana itu terlihat segar menghijau

Menawarkan berjuta damai pada semua penghuni


Dan di sana tak ku temui dusta

Tidak juga kata - kata manis berbumbu munafik

Apalagi cibiran sinis si sirik


Sapaan lembut yang semilir

mengalunkan melodi yang pernah tercipta


Ya, tak asing...

membawaku masyuk pada semesta yang diciptaNya

Baca Selengkapnya - Rasaku
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 06.08

HAMPIR




Kuasanya kau hari ini !!
Merobek hariku hingga terperi
Menancapkan amarah pada terik

Meranggas asa tak kuasa
Kerontang di pematang
Lahirkan segala keluh
Alirkan deras peluh

Dan tak setetes pun tersisa
Kau telan semua kesegarannya
Akhirnya hanya bisa merasakan

Sekarat
Baca Selengkapnya - HAMPIR
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 00.15

BODOH



Di semesta kau sajikan segalanya

Kucicipi..
Dan kurasakan NIKMAT !!!

Hingga teracuni seluruh darah
Yang hingga saat ini bisa buatku marah

Terkadang aku berpikir siapa yang penipu
Kau..
Aku..
Dia..

Dan ternyata aku terlalu dungu
Goblok



Baca Selengkapnya - BODOH
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 14.55

Kepada-Nya

 
Pada awan yang menatap enggan
Kotoran langit yang masih lepas menjerit

Terpaku di penghujung masa yang tlah menua
Rabun di depan kala yang kan menyapa
Desah nafas semakin merapuh
Tersengal dikejar ajal

Dan Dia tak akan pernah pergi
Kebodohan yang tercipta
Tertambal kasih

Pada Nya...
Tak surut samudera asa
Baca Selengkapnya - Kepada-Nya
Posted by: Mardhika Ika Sari Updated at: 00.00