Perkembangan puisi
di Indonesia dimulai sekitar pertengahan abad ke-19, ketika negeri yang dulu
dikenal sebagai Hindia Belanda ini masyarakatnya mulai mengembangkan media
cetak. Tampaknya perkembangan sastra kita tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan penerbitan, terutama puisi. Dan kebanyakan para sastrawan adalah
juga wartawan yang mementingkan bahasa sebagai alat komunikasi.Bahasa Melayu
sejak lama sudah menjadi bahasa komunikasi lisan di Nusantara, tetapi karena
kalangan pers menggunakannya sebagai alat komunikasi cetak, tampaknya mereka
harus mengubah yang lisan itu menjadi tulisan, yang bunyi menjadi aksara.
Puisi dalam bahasa
Melayu dicetak dan disebarluaskan sejak abad ke-19, ketika media massa cetak
mulai berkembang di Hindia Belanda. Sejak tahun 1870-an sudah ada surat kabar
yang memuat puisi dalam bahasa Melayu, yakni surat kabar Bianglala yang terbit di
Betawi.
Perkenalan dengan
budaya Barat menyebabkan para penulis puisi kita mempertimbangkan cara
penulisan baru, tetapi pengaruh yang sangat kuat dari tradisi lisan menyebabkan
bentuk – bentuk seperti pantun dan syair masih juga menjadi pilihan penting.
Munculnya sejumlah
besar puisi baru dalam berbagai penerbitan berkala membuktikan bahwa dalam
sastra kita kala itu sedang terjadi suatu proses pembaruan yang sangat penting.
Dan pada masa itu terjadi suatu arus pengaruh yang kuat dari Barat. Kelompok
sastrawan dan intelektual muda yang tergabung dalam majalah Pujangga Baru . Majalah itu dengan gigih
menawarkan berbagai konsep Barat untuk membongkar pemikiran bangsa kita yang
dianggap sudah mulai mengalami kemacetan di masa itu. Mereka menunjukkan
berbagai kelemahan yang ada dalam tradisi penulisan puisi kita seprti pantun
dan syair. Mereka mencoba meyakinkan bahwa cara terbaik untuk memajukan sastra
adalah dengan mencontoh berbagai cara pengucapan yang berasal dari Barat.
Tradisi lisan
dimanapun merupakan asal muasal penulisan puisi. Puisi modern yang ditulis
berdasarkan prinsip keberaksaraan, memiliki hubungan yang tak terpisahkan
dengan prinsip kelisanan. Piranti puisi seperti rima, irama, pengulangan,
aliterasi, asonansi dan kesejajaran menunjukkan bahwa puisi tulis dan cetak
memang harus ‘dilisankan’ untuk mendapatkan keindahan dan maknanya. Pantun dan
mantra merupakan bentuk tradisi lisan kita yang bisa dikatakan asli. Masuknya
pengaruh Hindu telah memberi peluang bagi para penyair kuno menciptakan
kakawin, sejenis puisi yang ketat aturan penulisannya, yang kemudian dalam
kebudayaan Jawa berkembang menjadi tembang macapat. Kedatangan Islam juga
menyebabkan penyair mengembangkan jenis baru seperti ghazal, nizam, dan nalam
yang berasal dari Timur Tengah.
Puisi Indonesia
modern mempergunakan jenis-jenis bahasa yang umumnya disebut Melayu Tinggi dan
Melayu Rendah. Melayu Tinggi tampaknya dianggap berubah menjadi bahasa
Indonesia. Dalam kesusastraan tidak pernah ada perbedaan antara bahasa rendah
dan bahasa tinggi.
*Damono, Sapardi
Djoko. 2009. Puisi Indonesia Sebelum
Kemerdekaan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar